Rekreasi

Anggara Mahendra


Setiap Lebaran Ketupat Nasrul mengajak keluarga besarnya di Kepaon, Denpasar Selatan, untuk berlibur bersama. Itu adalah tradisi keluarga yang sungguh-sungguh dijaganya. Betapa tidak, itulah hari di mana ia dan kerabatnya bisa berkumpul dan bersantai bersama lepas dari rutinitas. Tahun ini, tempat berlibur yang dipilihnya adalah pantai Nusa Dua. Alasannya sederhana saja, pantai itu bersih dan sepi. Di tempat seperti itu hampir semua orang, anak-anak maupun orang dewasa, merasa nyaman bercengkerama.


Bermodal beberapa lembar tikar, Nasrul dan keluarganya menduduki sebuah areal berpasir putih di bawah sebuah pohon rindang. Areal itu sudah mereka incar begitu memasuki kawasan pantai, lalu dengan tikar-tikarnya ia menguasai areal kecil pantai untuk beberapa jam lamanya. Mungkin semacam itulah para tuan tanah menguasai lahan di masa lalu.

Mereka kemudian membuka perbekalan makanan yang telah disiapkan dari rumah. Ketupat dan opor adalah primadona hari itu.


Pantai memang tempat rekreasi yang menyenangkan. Di situ keriangan bisa didapat dengan mudah dan murah. Tapi, ketika rekreasi menjadi bagian yang semakin penting dalam gaya hidup modern, di mana uang dapat membeli hampir semua hal, maka pantai-pantai pun berangsur mengalami komodifikasi sehingga  sebagiannya berubah menjadi kawasan yang kesenangannya tidak lagi dapat dinikmati secara cuma-cuma.


Lihat saja,  sekitar 15 meter di belakang areal yang diduduki Nasrul. Terhampar wahana rekreasi air yang untuk menikmatinya harus mengeluarkansejumlah rupiah. Memang tak seluruhnya mahal, tapi semuanya harus berbayar.


Pantai di mana Nasrul dan keluarganya menggelar tikar untuk mendedah obrolan itu adalah satu di antara sekian pantai Bali yang telah mengalamikomodifikasi. Di situ wahana asli dan buatan bersanding.  Sejauh ini, keduanya masih terasa dalam harmoni. Tapi, banyak orang mulai merasakan bahwa satu di antara keduanya mulai mengangkangi vibrasi yang lainnya.


Apa boleh buat, gaya hidup yang ingin serba cepat dan mudah telah mengubah pula cara pandang orang terhadap alam. Juga cara mengukurkenyamanan dan kesenangan. Dan, kaum bermodal memanfaatkannya dengan sangat baik untuk keuntungan sebesar-besarnya.


Kini, adalah pemandangan lumrah alam ditakik, dibor, diuruk, dipasangi instalasi, atau apa saja yang mengubah wajah aslinya. Adalah hal yang lumrah pula menjadikan pantai-pantai di seluruh negeri berwajah serupa dengan miniatur-miniaturnya dalam hotel, spa, dan berbagai wahana lainnya.





***


Foto-foto di atas dipamerkan dalam Pameran Foto Project 88 - Denpasar Film Festival bertajuk "Air dalam Simbol" di Rumah Sanur Jalan Danau Poso 51A Denpasar 13-21 Agustus 2015.


BIODATA ANGGARA MAHENDRA
Fotografer Bali yang berbasis di Denpasar ini mulai belajar fotografi pada 2007 dan fokus pada proyek dokumenter yang berkaitan dengan sosial, lingkungan dan budaya. Karirnya dimulai sebagai copywriter dan fotografer untuk majalah “Di Radio” yang diterbitkan oleh Radio Hard Rock  Bali. Pada 2011 ia menjadi fotografer  untuk majalah “The Beat”. Sejak 2012 ia menjadi kontributor fotografer untuk “Bali Daily” milik “The Jakarta Post”. 

0 komentar:

Premium Blogspot Templates
Copyright © 2012 project 88